Jumat, 26 Desember 2014

Sejarah dan Filosofi Bencana di Museum Tsunami Aceh

Tampilan muka Museum Tsunami di Banda Aceh. (FOTO: bandaacehkotamadani.wordpress.com)

Tampilan muka Museum Tsunami di Banda Aceh. (FOTO: bandaacehkotamadani.wordpress.com)

Di penghujung tahun 2004, Aceh digoyang gempa dahsyat sebelum kemudian digulung tsunami. Pantai Barat Aceh, dari Simeulue, Meulaboh sampai Banda Aceh dan sebagian Sigli mengalami kerusakan parah. Sekitar 170 ribu jiwa melayang seketika. Dunia tercengang ketika itu.

Desakan internasional memaksa pemerintah Indonesia membuka isolasi politik akibat konflik bersenjata yang panjang di Aceh. Tidak lama kemudian, berbondong-bondong orang dari ujung Indonesia dan dunia datang ke Aceh untuk melihat dampak kerusakan akibat tsunami, serta memberikan bantuan kepada masyarakatnya. Mantan Secretary of State AS Collin Powell yang datang beberapa hari setelah tsunami menyatakan dia belum pernah melihat kehancuran seperti yang terjadi di Aceh. Untuk mengenang kejadian tersebut maka dibangunlah Museum Tsunami Aceh.

Museum Tsunami Aceh dirancang oleh arsitek asal Indonesia, Ridwan Kamil. Museum ini merupakan sebuah struktur empat lantai dengan luas 2.500 m² yang dinding lengkungnya ditutupi relief geometris. Di dalamnya, pengunjung masuk melalui lorong sempit dan gelap di antara dua dinding air yang tinggi untuk menciptakan kembali suasana dan kepanikan saat tsunami. Dinding museum dihiasi gambar orang-orang menari Saman, sebuah makna simbolis terhadap kekuatan, disiplin, dan kepercayaan religius suku Aceh. Dari atas, atapnya membentuk gelombang laut. Lantai dasarnya dirancang mirip rumah panggung tradisional Aceh yang selamat dari terjangan tsunami.

Bangunan ini memperingati para korban, yang namanya dicantumkan di dinding salah satu ruang terdalam museum, dan warga masyarakat yang selamat dari bencana ini. Selain perannya sebagai tugu peringatan bagi korban tewas, museum ini juga berguna sebagai tempat perlindungan dari bencana semacam ini di masa depan, termasuk "bukit pengungsian" bagi pengunjung jika tsunami terjadi lagi.

Museum Tsunami Aceh terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Museum ini tidak memungut bea masuk, sehingga pengunjung bisa masuk dengan gratis. Hanya saja, pengunjung yang datang diwajibkan untuk mengenakan pakaian sopan, yakni baju lengan panjang dan celana/rok panjang. Sementara pengunjung wanita yang beragama Islam dianjurkan untuk memakai kerudung.

Bendera bertuliskan

Bendera bertuliskan “Damai” dalam berbagai bahasa digantung di atas jembatan yang membelah musem. (FOTO: Deasy Elsara)


Museum Tsunami diresmikan pada tahun 23 Februari 2009, lima tahun setelah tsunami meluluhlantakkan Banda Aceh dan kawasan sekitarnya. Museum ini dibangun setinggi empat lantai. Di lantai dasar terdapat “Jembatan Perdamaian” yang merentang sepanjang 15 meter di atas kolam ikan. Di sekeliling kolam terdapat 52 buah tempat duduk yang terbuat dari batu sebagai lambang jumlah negara yang memberi bantuan pada Indonesia untuk rekonstruksi pasca tsunami di Aceh.

Saat melintasi jembatan, perhatian saya terbagi dua, menengok ikan-ikan yang berenang dan mendongak melihat bendera dari berbagai negara yang menggantung. Karena penasaran, saya melangkahkan kaki ke bagian tengah jembatan dan mencoba membaca satu persatu kata yang tertulis di bendera tersebut. Rupanya bendera-bendera tersebut bertuliskan kata “damai” dalam berbagai bahasa.

Lorong gelap yang bisa bikin kita bergidik membayangkan penderitaan para korban yang tergulung tsunami. (FOTO: Deasy Elsara)

Lorong gelap yang bisa bikin kita bergidik membayangkan penderitaan para korban yang tergulung tsunami. (FOTO: Deasy Elsara)

Lorong ini bermuara ke sebuah ruangan yang sekilas tampak seperti memorial hall. Monitor-monitor tersebar di penjuru ruang, menampilkan foto-foto saat bencana melanda setiap beberapa detik. Suasana ruangan juga gelap, dengan cermin yang membentang di masing-masing sisi ruangan dengan sedikit cahaya yang tembus dari beberapa kaca di langit-langit. Rupanya ruangan ini berada tepat di bawah kolam ikan. Ruangan ini juga penuh filosofi. Cermin yang membentang melambangkan luasnya jangkauan air saat tsunami, sementara cahaya yang masuk dari celah kaca, memperlihatkan minimnya cahaya yang bisa tembus ke dalam air. Ruangan ini mengajak kita seolah-olah berada di dalam air.

Ruang

Ruang “Sumur Doa” dengan tulisan Allah di puncak atap berbentuk lorong. (FOTO :Deasy Elsara)

Di lantai dua terdapat ruang replika dan ruang audiovisual. Berbagai miniatur dan replika barang saat kejadian tsunami terdapat di ruang ini, seperti jam mati yang menunjukkan pukul 08.17 ketika gempa terjadi, miniatur orang-orang yang sedang menangkap ikan di laut  kemudian berlarian menyelamatkan diri dari terjangan gelombang setinggi pohon kelapa, dan masih banyak lagi.

Salah satu miniatur yang memperlihatkan tingginya gelombang tsunami yang meluluhlantakkan daerah-daerah yang dilaluinya. (FOTO: Deasy Elsara)

Salah satu miniatur yang memperlihatkan tingginya gelombang tsunami yang meluluhlantakkan daerah-daerah yang dilaluinya. (FOTO: Deasy Elsara)

Sementara di ruang audiovisual kita bisa menonton dokumenter saat gempa dan tsunami yang terjadi pada 24 Desember 2004. Film berdurasi 15 menit ini ditayangkan beberapa kali dalam satu hari. Namun sayang, kuota pengunjung pada jam penayangan saat itu sudah penuh sehingga saya tidak jadi menonton.

Sedangkan di lantai tiga ada ruang khusus IPTEK. Di sini lah berbagai macam benda alat peraga yang menjelaskan tentang gempa dan tsunami, mulai dari foto, miniatur, hingga simulator disimpan. Kita bisa mencoba alat peraga yang ada.

Bagi yang tak punya waktu untuk membeli oleh-oleh, jangan khawatir. Sebab museum ini juga menyediakan suvenir khas Aceh yang dijual di lantai empat. Dendeng sapi dan rusa yang laris sebagai oleh-oleh juga tersedia di sini. Ada pula aksesori seperti bros berbentuk pintu rumah adat Aceh, sarung, dan rencong.

Sumber : www.wego.co.id

0 komentar:

Posting Komentar